Pesan Buat Exi
SINOPSIS
Cinta baru
tahu kedalamannya setelah terjadi perpisahan, begitu Kahlil Gibran berkata
tentang cinta. Kita tidak benar-benar tahu arti seseorang, sampai seseorang itu
tidak lagi ada di sisi kita. Begitulah yang dialami Armadoni yang tiba-tiba
merasa hidupnya kosong begitu Ivo Kamila perempuan yang sangat dekat dengannya memilih
menikah dengan Wisnu.
Doni
memutuskan untuk menerima penugasan dari kantor untuk pelatihan ke Korea selama
tiga bulan. Kepergian yang membuatnya bisa menghindari hari pernikahan Ivo.
Sebelum
berangkat, Doni menitipkan Exi, seekor kucing betinanya pada Ivo. Dititipi Exi, berarti bukan hanya siap untuk
menjaganya, tapi juga siap untuk membacakan pesan-pesan yang dikirim Doni melalui
email.
Pesan-pesan yang akhirnya bisa menguak isi dan keangkuhan hati Doni. Adakah ia bisa bersama dengan Ivo lagi, sedangkan Ivo sudah bahagia bersama Wisnu.
****
Part #1- Catatan Cinta Sudah Lewat
BAB I
Kamis pagi, penghujung Juli
“Ini
kunci rumahku. Tiga hari sekali Bik Munah datang untuk membersihkan
rumah, mengganti sprei, mengganti gordin bila perlu. Padanya juga sudah kutitipkan kunci duplikat.
Kau tahu, Bik Munah bagiku seperti orang tua sendiri . Aku percaya padanya.
Halaman dan taman akan diurus Mang Darto.
Ia juga akan memberi makan ikan-ikan setiap harinya. Aku telah menggaji
mereka tiga bulan ke depan . Semuanya akan beres sepeninggal aku. Kau bisa
datang seminggu sekali melihat rumahku, kalau sempat tentunya, siapa tahu ada
hal hebat yang terjadi. Satu-satunya
yang kuingin kau lakukan adalah menjaga dan membawa Exi ke rumahmu.”
“Doni,
please…” aku menggoyang tanganku
berulang kali sesaat Doni selesai bicara - yang menurutku kali ini- cukup
panjang.
“Ivo,
aku tahu ini berat bagimu. Tapi siapa lagi yang dapat kupercaya menjaga Exi?” wajah Doni memelas .
“Tolonglah aku, sekali ini saja, ini amanah Kak Dika. Dia meminta kau yang
menjaganya, meski pun aku sudah meyakinkannya
kalau tempat penitipan hewan jauh lebih profesional daripada seorang
perempuan yang lebih senang menghabiskan waktunya di toko buku daripada
mengurus seekor hewan peliharaan, bahkan jika hewan itu adalah kucing manis
seperti Exi.”
Aku
mendengus kesal. Aku memang tidak pernah tertarik dengan hewan peliharaan.
Semanis apa pun mereka!
”Ivo...please...”
“Aku
benci kau memohon begitu,” aku menggeleng gemas. “Aku lebih benci karena
aku selalu saja tidak bisa menolak kemauanmu.”
Doni
menyunggingkan senyum mautnya yang membuat dadaku tak berhenti berdesir.
”Tapi,
aku juga benci karena kau akan pergi!”
“Ini
semua salahmu!” tiba-tiba Doni berteriak dengan emosi yang tidak bisa
tersembunyikan. “Andai saja kau tidak punya rencana menikah dengan Wisnu, tentu
aku tak berniat....”
“Aku?”
kutunjuk hidungku . “ Jadi pernikahanku yang membuat kau pergi?” tanyaku agak
takjub. Dadaku sesaat berdetak lebih keras. Kupandang wajah Doni yang tampan.
Bibirnya yang bagus bergerak. Aku menahan nafasku. Dalam hati aku berkata, ‘jika dia membuka hatinya, apa pun akan
kulupakan, kartu undangan yang sudah dicetak...gaun pengantin yang sudah
dijahit, catering, gedung tempat resepsi dan....apa pun... ‘.
“Ha..ha..ha….!”
Doni terbahak, mengelus rambutku sekilas. “Bukan soal pernikahanmu, kesalahanmu
adalah mengapa kau membiarkan aku tetap jadi pekerja, bukannya enterprenuer. Kau selalu bilang aku tidak berbakat jadi
pengusaha. Llihatlah sekarang, sebagai pekerja, aku harus mau dikirim mengikuti
pelatihan ke Korea! Itu tidak sebentar, Ivo. Tiga bulan ! Aku mau protes,
berarti siap –siap surat pengunduran diri. Dan jobless!
No money for pay my car, my home and all!”
Aku tersenyum kecil ketika Doni mengakhiri
kalimat panjang lebarnya. Kecut.
Bagaimana mungkin aku mengharapkan Armadoni yang seperti elang itu akan
mengatakan sebuah ‘komitmen’. Sepuluh kali dia lebih takut kehilangan
pekerjaannya daripada kehilangan aku. Yang memang bukan apa-apanya.
“Apa pun itu akan
kulakukan untukmu, Don, asal tidak menjaga Exi.”
“Ivo….”
“Aku
bukan hanya tidak suka dengan hewan peliharaan, Don. Kau tahu kan, aku alergi
dengan kucing. Aku juga memang tidak bisa punya hewan peliharaan. Dari
dulu, aku tidak suka waktuku habis oleh hewan- hewan yang
konon kata orang sangat lucu, imut atau apalah. Lihatlah, disaat adik dan
kakakku punya hewan peliharaan, aku malah lebih suka berburu buku-buku dan
menenggelamkan diri dengan membaca novel. Memiliki hewan peliharaan membuang waktuku, Don. Aku akan sangat sibuk,
tidak akan sempat…”
“Berikan
waktumu, Ivo. Maukah kamu membagi sedikit saja waktumu untukku?” suara Doni
memelas. “Aku tidak menuntut banyak. Sedikit waktu untukku, Vo, please.”
Aku
menahan nafasku, berusaha menguasai diriku. Suara Doni yang lembut membuatku
susah bernafas. Akan selalu ada waktu
untukmu, Don bisikku di hati. Bahkan
setelah aku menikah dengan Wisnu nanti. “Baiklah, aku tidak pernah bisa
menolak permintaanmu, kau tahu itu!” Bodohnya
aku.
“Terima kasih,” Doni tersenyum manis. “Apakah itu berarti
kau akan menerima Exi? Hanya sementara saja, Ivo. Aku akan membelikan makanan
Exi selama tiga bulan. Aku jamin kau tidak akan menyesal mengenal Exi. Dia
kucing yang baik dan pintar. Dalam sekejap dia akan mengusir tikus-tikus nakal
di rumahmu. Cuma ya....sebagai kucing betina, dia termasuk jutek dan moody, kayak
kamu juga...”
“Berarti
selama ini kau menilaiku seperti itu, Don?” ketusku sedikit marah. Dalam hati
aku geli juga. Apakah kucing betina mengalami PMS juga?
“Ops...maaf,”
Doni tertawa, mengelus rambutku lagi, “ aku lupa
kalau kau tidak jutek, cuma cerewetlah. ” Doni menarik napasnya, seolah membuang beban yang berat.
”Kau
tahu, Ivo, aku takut kau tidak punya
waktu untukku...ehm...maksudku untuk menjaga Exi. Padahal cuma kamu yang kupercaya. Ivo,
aku percaya padamu, seperti aku percaya
matahari akan terbit esok hari,bahwa kau akan menjaga Exi dengan ikhlas dan
sepenuh hati.”
“Baiklah,”
sahutku, tiba-tiba merasa kosong. “Ehm…jadi lusa kau akan berangkat ya?”
“Ya,” Doni
tertawa.
Aku
tersenyum. Jadi, tidak hadir di pesta
pernikahanku minggu depan?
“Aku
menyesal tidak bisa melihat kau menjadi ratu sehari,” seakan tahu jalan pikiranku,
Doni menggeleng dengan wajah agak muram.
“Ya,
Tuhan, kau akan segera menikah, Vo!” dia tertawa kecil. “Kau pasti akan sangat
cantik. Hem, mau berbulan madu ke Seoul? Mungkin kita bisa jumpa di sana,
berjalan-jalan menikmati tempat-tempat yang selalu kau impikan tiap kali habis
nonton drama Korea?”
“Wisnu
sudah memesan paket wisata bulan madu keliling Amerika jauh-jauh hari, Don,” kataku dengan nada
sedikit kecewa. Hem...Korea....tentu saja aku memimpikan berwisata ke sana, ke
tempat-tempat yang kulihat dalam drama Korea. Dengan orang yang spesial
tentunya, tapi...
“Ops…aku
lupa kalau dia saudaranya Obama!”
“Don,
please…” aku tertawa. “Aku ingin kau
menjaga dirimu, Don. Korea jauh dari sini, Don.”
“Ya,”
Doni mengangguk. “Amerika juga sangat jauh. Tapi untungnya kau
bersama soulmatemu.”
“Aku
ingin kau bahagia, Don.”
“Persetan!”
Doni tertawa. “Seluruh dunia harusnya berdoa untuk kebahagiaanmu, Ivo.” Ia mengangguk dan
bangkit. “Nah, aku harus pulang. Aku lega karena kau mau menjaga Exi. Aku akan
mengantarnya sore ini. Kujamin dia tidak akan merepotkanmu, Ivo.”
“Mudah-mudahan,”
aku mengangguk. “Mudah-mudahan dia tidak seperti Tuan-nya.”
“Tidak
akan,” Doni bangkit. “Aku pulang.. Ehm..boleh menciummu terakhir kali?”
Aku
menggeleng pasti.
“Baiklah,”
Doni terseyum, “begini saja,” katanya sambil meletakkan tangannya di
mulutnya. Ciuman jauh
Doni membuatku tersenyum. “Akan kukirim kartu pos untukmu,” katanya sambi
tertawa.
Aku
mengangguk, tidak merasa lucu.
“Dan
email . Balaslah kalau kau sempat.”
“Pasti,”
sahutku. “Akan kubalas semuanya. ASAP .” As
soon as possible.
"Aku
lega mendengarnya," Doni tersenyum. Setelah itu dia berbalik. Pulang.
Pergi.
Entah
kapan dia akan kembali lagi.
Entah
kapan kami akan bertemu lagi. Tiga bulan dia menjalani pelatihan di Korea,
bukan waktu yang lama.
Tapi
andai dia pulang, apakah sapa kami akan sama lagi seperti semula?
==
Dua bulan sebelum Juli
“Kau
masih ingat Wisnu, Don?”
Aku
menghentikan gerakan tanganku yang sedang memegang sendok. Mengerutkan kening
sebentar dan mengangguk.
“Manajer
muda itu kan? Tinggi, ganteng dan kau
pernah bilang , kalau kekayaan yang diwariskan dari orangtuanya yang pengusaha
properti itu tidak akan habis dimakan tujuh turunan dan ...”
“Don,
aku tidak pernah bilang soal kekayaan dan warisan orangtuanya,” Ivo merengut.
Aku
tertawa. “Ya, aku ingat dia,” aku mengangguk, enggan melihat wajah cantik Ivo
yang sedang cemberut .”Apa kabarnya? Aku
sudah lama tidak bertemu, terakhir kali bertemu di pameran properti tempo hari
dan itu sekitar dua bulan yang lalu. Benar kan, Vo? "
“Ya,”
Ivo mengangguk.
”Apa
kau pernah bertemu lagi dengannya?”
“Ya,”
Ivo kembali mengangguk. ”Dia melamarku kemarin.”
“A..p-pa?”
aku lupa menutup mulutku karena terkejut.
“Ya
dia melamarku.”
Aku
cepat menguasai diriku. ”Great!”
sahutku kemudian. “Sembilan berbanding satu, kau pasti menerimanya
ketimbang menolaknya, ya kan?”
“Kenapa
kau begitu yakin?" Ivo cemberut.
"Ehm
...karena dia tipemu," sahutku tak acuh. Ingat bagaimana seringnya Ivo
memuji Wisnu. "Benar-benar
tipeku," katanya ketika itu.
”Aku
belum memberi jawaban,” Ivo tersenyum kecil. “Aku perlu pendapat orang-orang
dekatku.”
“Termasuk
aku?” tanyaku spontan.
“Ya,”
Ivo mengangguk. “Kalau kau mau memberi pendapat.”
“Aku
pasti akan memberikan pendapat, Ivo,” aku membasahi bibirku yang tiba-tiba
kurasa kering, padahal aku tengah menyantap menu makan siangku.
”Saranmu?”
”Dan
saranku adalah, terima saja lamaran itu, jika memang kau mencintainya.”
“Apakah
cinta saja cukup, Don?”
“Entahlah,”
aku tertawa. “Aku bisa mengatakan dengan jujur bahwa cinta saja tidak cukup,
tapi satu yang pasti, jangan menikahi seseorang yang tidak kau cintai. Cinta
menjadi alasan yang kuat untuk menikah.”
“Kupikir
..aku mencintai Wisnu.” Suara Ivo bergetar. “Ya, aku mencintainya.”
“Bagus,”
aku menepuk lembut punggung tangannya. “Itu alasan yang paling masuk akal.
Senang mendengarnya, Ivo.”
Gadis
itu diam .
“Kau
akan menerimanya kan?” tanyaku pula. Entah mengapa aku berharap menerima jawaban lain.
“Mungkin,”
Ivo tertawa kecil. “Aku perlu second
opinion selain dirimu.”
“Jangan
biarkan dirimu terlalu banyak mendengar pendapat orang lain, Ivo. Nanti kau
akan kehilangan kesempatan mendengar kata hatimu sendiri.”
“Ya,”’
Ivo mengangguk mantap. “Aku pasti menerimanya. Ibu juga menyarankan begitu. Terima kasih, Don,
karena telah mendukungku. Pendapatmu lebih meyakinkanku untuk menerima Wisnu.”
Itulah
awalnya.
Saat
itu aku masih bisa tertawa senang. Menggandeng tangan Ivo keluar dari restoran sambil
bernyanyi-nyanyi di dalam mobil. Segalanya masih sedia kala. Lalu hari-hari
berikutnya kurasakan perubahan itu. Ivo mulai susah ditemui. Ada lusinan
alasannya bila kutanya.
”Aku sedang sibuk menyiapkan pernikahanku, Don,” atau, “Hari ini aku dan Wisnu merampungkan desain kartu undangan,” juga, “Aku harus memeriksa baju pengantinku.”
Astaga,
baru aku sadar, aku akan segera kehilangan Ivo.
Dua tahun sebelumnya
“Kau
dan Ivo berhubungan seperti apa sih?”
tanya Kak Dika, kakak
perempuanku satu-satunya yang setahun belakangan ini sudah menetap di
Singapura, mengikuti suaminya yang memang warga negara Singapura.
“Memang
kenapa?” tanyaku enggan. Aku sudah menduga, suatu hari pasti pertanyaan itu
akan muncul juga dari keluargaku. Dan kalau pun yang bertanya kini adalah Kak Dika, itu karena
memang dia satu-satunya keluargaku yang tersisa. Mami dan papi sudah meninggal
dalam suatu kecelakaan pesawat sekitar sewindu yang lalu. Aku dan Kak Dika hanya
dua bersaudara.
“Sangat dekat,” Kak Dika nampak ragu meneruskan kata-katanya. Aku
maklum , apa yang dimaksudnya dengan ’sangat dekat’ itu. Bukan sekali dua kali
dia mengetahui aku dan Ivo berakhir pekan bersama, bahkan kadang menghabiskan
waktu libur keluar kota.
“Tidak
berniat melamarnya?” Kak Dika tersenyum kecil. “Ivo bukan hanya cantik, Don. Sebagai perempuan, dia
cukup memenuhi syarat dijadikan istri. Baik, mandiri dan ehm..kupikir kau tidak
hanya sekedar tertarik secara fisik saja kan?”
“Ya,”
aku mengangguk. “Tiga kata mewakili Ivo, Kak, dia cantik, cerdas dan setia. Dua kata untuk
mewakilinya, lembut dan berwawasan. Satu kata mewakilinya, dia istimewa,” aku
tertawa. “Tapi perkawinan belum ada dalam benakku, Kak.”
“Bahkan
disaat kau sudah hampir kepala tiga
ini?”
“Ehm...usiaku
memang terus bertambah. Tapi aku belum mau menikah. Aku masih ingin bebas.”
“Aku
tidak lega mendengarnya,” Kak Dika tertawa kecil. “Tapi semua terserah padamu. Aku
tidak ingin memaksamu memilih jalan hidup. Semua tergantung padamu dan Ivo
tentunya. Kalau kau dan Ivo nyaman dengan hubungan seperti ini, why not?”
Aku
dan Ivo berkenalan hampir lima tahun yang lalu. Pada sebuah seminar bisnis .
Aku mewakili perusahaanku dan Ivo juga mewakili perusahaannya bersama dua
rekannya yang lain. Wajahnya yang cantik dengan tubuh yang sempurna sekejap
saja membuatku tertarik. Apalagi setelah kenal, dia juga pintar dan punya
wawasan luas. Bicara padanya tidak membosankan. Dia juga masih sangat muda,
masih begitu penuh semangat.
Saat
itu ia sedang dekat dengan seorang pria rekan sekantornya yang punya kedudukan
cukup lumayan. Aku sedikit kecewa mengetahui kenyataan itu. Tapi kepalang
tanggung, aku terus saja menjalin komunikasi dengan Ivo. Pada pikiranku, kalau
tidak bisa jadi pacarnya, ya sekedar jadi temannya juga sudah bagus. Bahkan
kalau tidak bisa masuk kategori sebagai teman, mungkin sekedar jadi kenalan.
Kenalan
istimewa tentunya. Yang bisa membawanya makan malam, jalan –jalan dan ngobrol
sampai malam menyapa pagi.
Aku
punya banyak teman perempuan. Orang menjulukiku Armadoni Sang Don Juan. Perempuan-perempuan
berebut mencari simpatiku. Dari yang masih lajang sampai yang sudah menjadi
istri orang lain pernah dekat denganku.
Tapi
entah kenapa dengan Ivo aku justru terpacu untuk ‘mengejar’. Berkenalan
dengannya telah membuat hariku terasa
lebih indah, lebih penuh semangat. Hasilnya, kinerjaku di kantor lebih
meningkat. Tidak kupungkiri kalau kehadiran Ivo turut andil terhadap promosiku.
Jabatanku sebagai manajer di perusahaan otomotif juga karena dia, secara tidak langsung.
Soalnya, dia selalu mendorongku untuk maju, memberi motivasi dan tentu saja
’kasih sayang’ yang terus mengalir.
Lima
bulan berhubungan sebagai kenalan, akhirnya aku bisa juga naik level menjadi
teman. Kami mulai sering keluar makan siang bersama. Berdiskusi dan ngobrol di
sela-sela istirahat kantor sungguh menyenangkan.
Beberapa
bulan ke depan, aku akhirnya tahu kalau Ivo telah putus dengan rekan
sekantornya. Sungguh mati aku tidak berniat mencari tahu apa masalah keretakan
hubungan mereka sampai putus begitu. Biar saja. Aku tidak peduli dengan
hubungan itu lagi. Kini kupikir, aku bisa terus bersama Ivo.
Bukannya
sombong atau tertalu memuji diri, tapi aku sadar kalau Ivo juga tertarik
padaku. Bahkan menurut seorang teman dekatnya, Ivo sengaja memutuskan hubungan
dengan pacarnya karena aku. Wow. Mana
aku peduli. Tapi toh itu cukup membuat aku besar kepala.
Mulailah
hari-hari bersama yang panjang. Kami saling memberi dan menerima. Hubungan yang
manis, yang syukurnya tidak pernah kami ikrarkan dalam komitmen apa pun. Aku tidak
pernah mengklaim sebagai pacarnya, dia juga tidak pernah memproklamirkan
sebagai kekasihku. Hubungan yang manis, yang telah melewati batas-batas
hubungan sebagai kenalan, pun sebagai teman.
Tahun
bergati tahun. Hubungan terus terjalin manis. Saling isi dan saling meminta.
Saling pengertian tanpa banyak menuntut. Mungkin kami sangat mengagungkan
kebebasan. Entahlah. Toh sekali waktu Ivo jadi melankolis juga.
“Pernah
berpikir kita akan terus begini, Don,” bisik Ivo di antara dekapanku, di
keheningan villa di pegunungan yang indah. Saat itu kami menghabiskan liburan
di Berastagi.
“Kuharap
akan selalu begini,” bisikku sambil mencium rambutnya yang wangi.
“Ya,”
Ivo mengelus lenganku. “Kau dan aku…lalu ada anak-anak di antara kita,” ia
menempelkan pipinya yang halus di lengan kananku. “Sepasang. Mungkin lebih,
tiga orang anak,” dia tersenyum. “Aku
ingin dua anak perempuan. Satu laki-laki. Wah…”
“Kau
suka anak-anak rupanya,” aku tertawa. “Punya niat mengadopsi anak?”
“Anakku
sendiri tentunya. Kau ayahnya,” ia merengut manja.
“Mempunyai anak itu gampang, Vo, tapi menjadi orang tua
itu susah,” kataku.
“Aku
tahu, kau tidak tertarik dengan pernikahan,” Ivo bangkit, membuka pintu villa
dan membiarkan angin masuk .
“Apa
kau tertarik?” tanyaku mengikutinya.
“Tentu,”
Ivo mengangguk. “Kalau kita sudah menemukan seseorang yang kita cintai dan
mencintai kita, tidak ada alasan untuk tidak menikah.”
“Apa
kau sudah menemukannya?” tanyaku memancing.
“Sudah
lama,” dia tersenyum memandangku dengan sorot lembut. Aku memalingkan
pandangku, bukannya tidak mengerti arti tatapannya. Dalam keadaan biasa,
sungguh menyenangkan karena tahu ada seorang yang mencintai kita, tapi kalau
sedang membicarakan pernikahan, aku jadi hilang semangat.
”Tapi
entah dia, mencintaiku atau tidak,” Ivo tertawa.
Aku
juga tertawa. “Aku bisa meramal, kau akan segera menikah, Vo,” aku mengangguk,
“senang mendengar kau punya pikiran begitu. Sayangnya, pernikahan tidak menarik
hatiku.”
Aku
sangat egois memang. Bila Ivo mulai
membicarakan pernikahan, aku coba mengalihkan pembicaraan. Bila ia terus
mendesak, kadang-kadang aku meradang. Ngambek.
Aku malas bertemu dengannya, malas meneleponnya, malas menjawab pesan-pesannya.
Lama-lama
Ivo seperti menyadari bahwa aku memang enggan membicarakan itu. Tapi suatu
hari, kami sempat bertengkar sengit ketika membicarakan pernikahan. Sebenarnya
aku yang begitu cepat tersinggung. Waktu itu Ivo membacakan sebuah karya kahlil
Gibran di depanku.
Perkawinan adalah, peleburan dua keilahian demi
menciptakan keilahian ketiga di atas bumi, menjilid dua kekuatan dalam cinta
…penolakan sepasang jiwa yang bertikai dan keutuhan mereka dengan persatuan,
rantai emas dari rangkaian yang berawal pada lirik dan berujung pada yang Tak
Terhingga…
“Berhentilah,
Ivo!” aku berteriak marah.
“Kok…”
“Aku
benci kau terus-terusan berbicara tentang pernikahan, anak, rumah tangga dan segala tetek-bengeknya!”
“Don…”
Ivo menggeleng. “Aku cuma membaca kata-kata dalam udangan pernikahan Abdi,” dia
menunjuk sebuah kartu undangan. “Kita akan ke sana ya….”
“Apa
sebenarnya yang kamu inginkan?” tanyaku . “Apa kau ingin aku menikahimu?
Begitu?”
“Don….”
wajah Ivo memerah. "Aku tak bermaksud begitu, maafkan aku…”
“Kamu
berubah kini,” kataku geram. “Terlalu banyak menuntut. Jika kau tidak suka
denganku kau bisa pergi kapan saja. Tapi sungguh, jangan paksa aku mengikatkan
diri. Aku tidak bisa, Ivo.”
“Maaf,
Don,” Ivo mulai nampak tenang. “Maaf aku yang salah,” dia tertawa sumbang.
“Lupa kalau kau begitu menyanjung kebebasan dan menikah adalah urutan terakhir
dalam tujuan hidupmu!”
“Berhenti
berkata begitu, Ivo!” teriakku. “Aku tidak pernah memaksamu, kan? Aku punya
tujuan hidup sendiri yang ingin kucapai!”
“Tidak!”
Ivo menggeleng. “Kau tidak pernah memaksaku. Aku mengerti,” dia mengangguk.
“Aku kini mengerti, Don,” sambungnya nyaris tak terdengar. Ada gumaman kecil
dari mulutnya setelah itu, tapi aku sudah tidak ingin mendengarnya.
Dua
bulan sejak kejadian itu aku dan Ivo sama sekali tidak mengadakan komunikasi.
Kosong. Aku kelayapan kemana saja, mencari hiburan, menghabiskan akhir pekan
dengan teman-temanku. Tentu saja, dengan perempuan-permpuan lain. Aku kacau.
Entah kalau Ivo.
Pertemuan
kembali kami terjadi pada sebuah resepsi pernikahan seorang rekan lama. Ivo
hadir bersama adik laki-lakinya. Aku hadir sendiri saja, karena aku sedang
tidak ingin membawa ’pasangan’ku saat itu. Awalnya kami sempat canggung, namun
menit berikutnya kami sudah melupakan ‘perselisihan’ yang ada. Kami ngobrol dan bicara banyak.
Esoknya,
kami jadi akrab lagi. Bersama lagi. Kali ini tanpa pernah membicarakan
‘pernikahan’.
Beberapa
kali aku mendapati Ivo mulai akrab dengan pria lain. Itu tidak mengusikku. Aku
juga punya beberapa kenalan wanita. Salah satu yang agak serius melakukan
pendekatan dengan Ivo adalah Wisnu, seorang manajer pemasaran sekaligus anak
pemilik perusahaan properti yang cukup ternama.
Perusahaan tempat Ivo bekerja dan perusahaan tempat Wisnu bekerja telah berhubungan cukup lama .
Aku
tidak tahu persis bentuk hubungan Ivo dengan Wisnu . Aku memang
dikenalkannya pada Wisnu. Tapi kupikir, pria itu hanyalah salah satu dari
sekian rekan Ivo. Aku tak berpikir apapun. Aku mestinya mulai ‘curiga’ saat Ivo
mulai ‘memuji’ Wisnu. Dari mulai jabatannya yang hebat, prestasinya sampai
selera musiknya yang konon sama dengan Ivo.
Tapi
kupikir, apa peduliku. Ivo masih lebih dekat padaku. Kami masih sering
menghabiskan waktu bersama. Akhir pekan yang manis. Sampai akhirnya, suatu
siang, ketika kami menghabiskan waktu istirahat kantor di restoran langganan
kami, Ivo menyampaikan lamaran Wisnu.
Aku,
Armadoni yang tegar, yang selalu merasa tidak bisa diikat oleh perempuan,
apalagi pernikahan, menyarankan dia
untuk menerima lamaran itu.
Mungkin
aku tidak sadar tengah menggali lubang kuburanku , tempat di mana aku merasa
kesepian dan sendiri!
==
Sabtu sore, penghujung
Juli
Aku
tidak tahu jam berapa mahluk kecil itu diantar Doni. Exi, seekor kucing blasteran siam dan kampung, merupakan
hewan peliharaan Doni. Seingatku, mahluk berbulu lembut ini sudah bersamanya hampir tiga tahun ini.
Kucing ini adalah kucing Kak Dika, kakak
satu-satunya Doni. Waktu Kak Dika pindah ke Singapura kucing betina yang sudah
di’sterilkan’ – agar tidak punya anak – ini dititipkan pada Doni.
Ada
sedikit kecewa di hatiku ketika tidak bertemu Doni yang mengantar Exi. Aku memang sangat sibuk, maklum, pekan depan
aku akan naik ‘tahta’, jadi ratu sehari.
Raja
yang kupilih adalah Wisnu Hermasnyah, seorang manajer muda di perusahaan
properti milik keluarganya. Waktu aku menyampaikan keinginan untuk menikah pada
orang tuaku, mereka menanggapi dengan sukacita. Maklum, dalam keluargaku,
tinggal aku sendiri yang belum menikah. Dua kakak perempuanku dan seorang adik
laki-lakiku telah memberi cucu pada ayah dan ibu. Sebenarnya usiaku pun belum
begitu ’tua’, aku baru dua puluh delapan, tapi karena adik laki-lakiku sudah
menikah, ibu begitu ’gerah’ memintaku cepat-cepat menikah.
Tapi
saat kusampaikan bahwa yang melamarku adalah Wisnu, aku melihat tatapan aneh ayah. Ibu lebih bisa
menyimpan perasaannya. Saat malam hari kami bicara, terungkap juga pertanyaan ibu.
“Benar
Wisnu yang melamarmu, bukannya Doni, Vo?” tanya ibu, sedikit hati-hati.
“Ya
memang Wisnu, Bu,” sahutku. “Kenapa?”
“Tidak,”
ibu tergelak.
“Ibu kira kamu sangat dekat dengan Doni,
Vo.”
Aku
tersenyum. Ibu, aku juga ingin dia yang
datang melamarku. Tapi dia elang yang ingin selalu bebas, Bu. “Doni hanya
teman saja, Bu. Laki-laki yang baik dan menyenangkan, tapi ya…hanya sebagai
teman,” ungkapku dengan nada sedikit getir. “Tapi Wisnu juga baik, Bu.”
“Ibu
tahu,” ibu mengangguk.
“Sepertinya Ibu lebih percaya Wisnu bisa membuatmu lebih bahagia, Vo.”
Semoga,
bisikku di hati. Semoga aku bisa membuang bayangan Doni dan mengubur semua kenangan kami.
Aku
menerima lamaran Wisnu sekitar dua bulan yang lalu. Jangan tanya soal cinta,
karena aku tengah malas berdebat dengan perasaanku sendiri. Lima tahun aku
memuja cinta, kukira aku akan selalu bersamanya. Rupanya tidak. Sungguh aneh memang menebak hati Doni. Kukira
dia menyukaiku, nyatanya, dia hanya menganggapku teman saja. Mungkin
selingan.
Padahal,
aku begitu memujanya. Tapi, sudahlah, aku tak pantas berpikir getir. Aku tak
pantas berkecil hati.
Mungkin dia memang
tak pantas untukku.
Aku harus
siap mengahadaapi hari ke depan.
Aku,Ivo
Kamila, akan segera menjadi Nyoya Wisnu Hermansyah.
Walaupun
aku pernah bermimpi lain.
Nyonya
Armadoni .
==
BAB II
Matahari September terasa hangat
Pagi itu untuk
pertama kali setelah mengambil cuti menikah
dan baru pulang dari perjalanan bulan madu keliling Amerika, Ivo masuk
ke kantor. Lebih tiga pekan dia meninggalkan kantor, tiba-tiba dia merasakan kerinduan
yang dalam pada rutinitasnya.
Seisi kantor berebutan menyalamnya. Bahkan Pak
Darmawan, atasannya ikut menyambut kembalinya ia ke kantor. Beberapa teman
dekat berbisik menanyakan oleh-oleh.
“Kau nampak
segar,” Astuti menyambutnya dengan senyum. “Apa kubilang,
perkawinan memang cocok buatmu, Vo. Kau saja yang selalu menundanya.”
“Pst…aku
menyesal menikah,” kata Ivo sambil menarik Astuti lebih mendekat padanya.
“Menyesal?
Kenapa?”
“Menyesal
kenapa tidak dari dulu,” sambungnya sambil tersenyum.
Astuti
tertawa. “Wellcome!” katanya dengan
hangat.
Ivo
berjalan ke mejanya. Dan saat dia memeriksa email,
dia mendapati banyak pesan yang masuk. Dan ia melihat nama Doni berulangkali.
Tiba-tiba Ivo merasakan kegetiran, gundah dan degub yang aneh .
Gila,
sudah berapa lama dia tidak bertemu Doni?
Dibukanya email dari Doni. Tanggal paling awal.
07 Agustus
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject : Selamat
Berbahagia
Selamat berbahagia, Ivo. Malam ini waktu
Korea aku berdoa buat kebahagiaanmu. Semoga senantiasa indah hari-harimu ke depan.
Doni
Ivo
menggigit bibirnya, ada haru yang menyelimuti hatinya. Terimakasih, Doni,
sahutnya di hati. Hari-hari bersamamulah yang paling indah.
13 Agustus
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject : Apa kabar?
Hai, Ivo, engkau sehat-sehat saja kan? Bagaimana
pestanya? Oya, apa kau senang dengan hadiah dariku? Semoga harimu tambah baik.
Doni
Ivo
tersenyum kecil. Doni mengiriminya sekeranjang novel dari beberapa penulis
kesayangan Ivo. Sebagian memang
sudah ada dalam koleksi Ivo, tapi Ivo tetap merasa senang. Aku suka hadiah
darimu, Don, gumamnya. Akan kusimpan
semua koleksi itu, seperti aku menyimpan semua hal indah bersamamu.
Email lain berbunyi:
21 Agustus
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject :
Apa Kabar, Jutek? ( Pesan buat Exi, mohon sampaikan )
Wah
pengantin baru sangat sibuk ya. Aku tidak mau menganggu kalian berdua. Aku
hanya ingin bicara dengan Exi. Hai, Exi, apa kabar kucing betinaku yang
jutek? apakah engkau sehat? Apakah engkau
merindukan Tuanmu,sobatmu yang jauh ini? Semoga engkau selalu senang
di sana Exi. Percayalah, aku akan kembali bersamamu. Kita akan menghabiskan
waktu bersama lagi seperti dulu. Hanya aku dan kau, Exi.
Oya, apakah tidurmu nyenyak akhir-akhir ini? Atau
gelisah seperti aku? Hei, hei….apakah engkau tahu aku kangen dengan ngeongmu,
Exi?
Jangan nakal ya. Nanti tidak ada yang mau
menjagamu.
Salam buat Ivo . Hei, dia sangat sibuk ya sehingga
tidak sempat membalas emailku, padahal dia sudah berjanji akan membalas semua
emailku….
Doni
Ivo tersenyum
dan dia lebih memilih melanjutkan membaca email Doni yang lain.
3 September
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject : Pesan Buat Exi
( Mohon sampaikan bila ada waktu)
Halo, Exi, sayangku, apa kabarmu? Apakah
engkau merindukanku, seperti aku merindukanmu juga? Di sini, semuanya serba
membosankan, lebih-lebih bila aku kembali ke ‘asrama’ku setelah masa pelatihan.
Wah…aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak terasa sebulan sudah aku di Korea. Aku ingin
cepat-cepat pulang saja, aku kangen padamu , Exi. Aku tidak tahu harus berbuat
apa di sini. Pelatihannya lumayan menarik, terutama bila kelak bisa kuterapkan
di perusahaanku. Tapi sepertinya agak susah, mengingat etos kerja yang berbeda
antara di Korea Selatan dengan di tempatku bekerja. Tapi ya…semaksimal mungkin
akan bisa diterapkan di pabrik kami nanti.
Bagaimana kabar Ivo, Exi? Dia mungkin sedang
bahagia-bahagianya kini. Aku ingin mendengar suaranya, melihat tawanya. Apakah
dia sehat-sehat saja, Exi? Engkau melihat
dia di pesta pernikahan itu? Apa? Dia pasti sangat cantik ya?
Maukah engkau memohon padanya untuk membalas
emailku sekali saja? Aku hanya ingin tahu, apakah dia baik-baik saja.Kamu tahu,
Exi, aku selalu ingin dia bahagia.
Salamku buatnya.
Doni
Itu email terakhir. Ivo tersenym dan
segera membalas email Doni.
5 September
From : Ivo Kamila
To: Armadoni
Subject :Re:
Kabar Buat Exi ( Mohon sampaikan bila ada waktu)
Hai Doni, aku
baik-baik saja,dan Exi tentu saja baik. Kau boleh percaya atau tidak, ia tambah
gemuk. Hem…aku baru saja menimbangnya pagi tadi, dia naik 2 ons . Kau pasti senang. Jangan
mengkhawatirkannya, aku kan sudah berjanji
bahwa aku akan menjaganya, jadi ya pasti kujaga. Bahkan saat aku dan
Wisnu pergi bulan madu, Exi kutitipkan dengan ibu .Kamu lebih tenang kan? Tahu
sendiri bagaimana ibu telaten mengurusi binatang peliharaan.
Oya, aku baik-baik saja. Hari ini aku masuk kantor
lagi. Teman-teman mengatakan wajahku lebih cerah. Kata mereka, perkawinan baik
buatku. Ha..ha…ha…
Aku akan sampaikan salammu pada Exi. Akan kukatakan kerinduanmu padanya. Sepertinya dia
juga merindukanmu. Jaga dirimu,
Don.
Ivo
Pulang
kantor Ivo tidak langsung ke rumah. Dia sudah permisi pada Wisnu untuk mampir ke rumah
Doni sebentar. Sebulan lebih sejak Doni pergi dan ‘menitipkan’ rumah
padanya, Ivo belum sempat mampir.
Memasuki
halaman rumah berlantai satu yang asri itu Ivo langsung berhadapan dengan
kesejukan taman bunga yang kelihatannya tetap terawat . Benar-benar Mang Darto datang
mengurusnya. Ivo paling suka berlama-lama di taman bunga rumah Doni ini. Tidak
besar, tapi penataannya begitu berkelas. Tidak percuma Doni membayar ahli
pertamanan dulu. Dan lihatlah, pucuk merah yang berjajar manis di bagian utara
taman itu sekarang sudah mulai tinggi. Ivo ingat, dia ikut menanamnya dulu
bersama Doni.
Ivo
masih ingat saat Doni mulai membeli rumah ini. Lebih kurang dua tahun yang lalu. Masa yang indah.
Doni meminta pendapatnya. Memintanya untuk memilih kavling bahkan dia juga
meminta persetujuan Ivo terhadap desain rumah tersebut. Doni mengajak Ivo
memilih perabot dan meminta tanggapanya soal desain taman mungil di halaman
rumah.
Itu
masa yang tidak terlupakan. Saat yang membuat Ivo punya angan dan mimpi tinggi.
Dia mungkin akan jadi Nyonya rumah di
sini. Bukan hanya nyonya rumah saja, tapi Nyonya Armadoni. Wah.
Ternyata
cuma mimpi. Tak ada yang istimewa. Doni meminta pendapatnya hanya karena
ketepatan dia yang hadir di sana waktu itu. Mungkin kalau yang dibawanya Dina,
Lusi atau Natalie, maka gadis-gadis itu pula yang dimintai pendapat.
Uh,
ternyata semua itu bukan hal yang spesial.
Masuk
ke dalam rumah, Ivo seperti melihat rumahnya sendiri. Dia hapal liku-liku
rumah ini. Tak ada yang berubah. Lukisan dekoratif khas maskulin yang menghiasi dinding, ruang baca
dan ruang nonton yang bergaya elektik. Bahkan kamar tidur Doni pun dia hapal.
Tak
ada yang perlu dikhawatirkan, pikir Ivo. Semua baik-baik saja. Bik Munah juga
pasti datang sesuai jadwal.
Ivo
berbalik. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tidak nyaman di rumah ini. Ia
mencium ‘aroma’ Doni di mana-mana. Tak terlupakan. Mereka pernah sangat dekat,
Ivo bisa merasakan itu. Ia tidak tahan berlama-lama di sini, mengenang dan
‘membaui’ semua tentang Doni, sedang dia sudah menjadi istri Wisnu.
Ivo
menutup pintu kembali.
Seperti
menutup masa lalunya.
==
“Bagaimana
rumahnya, Sayang?”
Malamnya,
Wisnu menanyakan kabar rumah Doni. “Apa semuanya baik saja?”
“Tidak
ada yang kurang,” Ivo menyahut pelan.”Aku mestinya tidak begitu cemas, karena
dua pembantu selalu hadir sesuai jadwal. ”
“Kamu nampak tidak sehat,” Wisnu menatapnya
penuh perhatian. ”Kau baik-baik saja, Vo?”
“Aku
sangat baik,” Ivo tersenyum manis. “Aku cuma lelah,” dia bergayut di lengan
Wisnu. “Aku ingin dekatmu, Wisnu.”
“Kau
merayuku,” Wisnu meraihnya ke pelukan. “Marilah, kau ingin kupeluk kan?”
Ivo menyerah dalam dekapan suaminya. Ia membuang
bayangan seseorang yang seenaknya melintas di pelupuk matanya.
==
Doni
tersenyum membaca balasan email yang
dikirim Ivo. Apakah kau seperti Exi, Ivo? Merindukanku juga, batinnya. Mungkin
tidak, jawab hatinya pula. Dia sudah bahagia, dan terkutuklah aku yang tidak
bisa melupakannya. Doni meremas rambutnya dengan kecewa.
Dia sudah
bisa meramal semua ini akan terjadi pada dirinya. Dia resah dan galau. Dia
bohong. Bohong! Dia mencintai Ivo, sangat memujanya. Ia merasa kiamat menghampirinya ketika Ivo
menyerahkan undangan pernikahannya. “Kau harus datang ya,” katanya dengan
senyum bahagia dan tatap penuh harap. “Jangan sampai tidak!”
“Ya, pasti,
aku datang,” Doni menerima undangan itu
dengan senyum dan gaya rileks. Seolah ini cuma brosur perumahan dari sebuah
pengembang saja. Ia tidak berani
membukanya, meski pun dia sangat ingin mengetahui tanggal berapa sih pernikahan itu diadakan?
Ketika dia
sampai di rumah dan melihat tanggal pernikahan Ivo dan Wisnu di kartu undangan
itu, seketika itu juga dia menelepon Ribka , asisten manajer HRD di
perusahannya.
“Oh...jadi
juga Pak Doni mengikuti pelatihan di Seoul
ittu ?” tanya Ribka seolah tidak yakin dengan pendengarannya sendiri. Soalnya
dia sudah dua kali diminta untuk mengikuti, tapi Doni menolak. Tapi
sekarang?
“Iya, Mbak
Ribka, tolong atur segala sesuatunya ya, terutama surat-surat dan izinya. Besok
saya akan menghadap Pak Luki langsung untuk membicarakan ini.”
Pak Luki
adalah bos besar di perusahaannya. Tentu saja laki-laki itu tidak keberatan
dengan keinginan Doni, dia malah senang karena sebagai seorang manajer Doni
akan banyak belajar di sana .
Sungguh
mati dia tidak berniat hadir di pesta pernikahan Ivo. Melihat dia bersanding
dengan laki-laki lain akan membuat Doni mati berdiri. Dia tidak sanggup
kehilangan Ivo. Dia tidak sanggup.
Bodohnya
aku, Doni menggeleng muram. Kenapa dia tidak melamar Ivo lebih dulu. Kenapa?
Aku egois.
September
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject : Pesan buat Exi
( It’s Amazing, Exi)
Ivo, sebelumnya terima kasih atas kesediaanmu
menyampaikan (membacakan) emailku buat Exi. Entah kenapa, aku yakin dia aman
bersamamu. Kamu tahu, Kak Dika juga tenang karena Exi kutitipkan padamu. Dia
juga akan senang mengetahui Exi makin gemuk. It’s Amazing.
Aku senang kamu bahagia. Perkawinan memang baik
buat kamu. Bulan madunya berjalan
lancar bukan?
Exi, bagaimana hari ini? Semoga kamu baik selalu.
Hai, Exi, kamu tidak melupakan aku bukan? Jangan-jangan kamu sudah lupa pada
aku, sobatmu Armadoni yang menyebalkan. Jangan ya…
Cuma engkau milikku kini setelah Ivo menikah dan
bahagia.
Jaga dirimu ya? Apa kamu masih jutek juga?
Aku kangen kamu, sungguh.
Salam sayang,
Doni
==
“Exi, Doni titip salam buatmu.” Ivo mengelus
Exi. “Nampaknya dia benar-benar merindukanmu.”
Exi,
kucing turunan siam berbulu indah itu menggosok-gosokkan kepalanya ke lengan
Ivo. Mengendus-endus sayang, seolah mengerti dengan apa yang diucapkan Ivo.
“Apakah
dia selalu merindukanmu?”
Si
kucing betina itu makin merapatkan kepalanya ke lengan Ivo. Ivo tersenyum
kecil. Andai ia juga merindukanku, gumamnya.
“Kalian
sangat dekat ya? Kau benar-benar sobatnya?” Ivo mengelus lembut bulu Exi lagi. “Apa dia suka
mengajakmu bicara? Hei, apakah dia pernah membicarakan aku? Perasaannya padaku?
Benarkah dia tidak mencintaiku? Dan kenapa dia begitu membenci pernikahan?
Oh...aku tahu, dia memang tidak suka terikat. Dia ingin bebas, seperti elang.
Armadoni Si Elang, tapi apa benar dia tidak menyukaiku? Setidaknya, dia bisa
memintaku untuk menunggu, dan aku janji akan menunggunya sampai dia siap untuk
menikah. Meksipun itu sepuluh tahun lagi.”
Ivo melihat
Exi membuka mulutnya lebar-lebar. “Kau ngantuk?” tanyanya sambil tertawa. “Apa
kita mau menjawab email Doni? “ Exi
mengibaskan ekornya. “Kenapa? Kamu tidak
mau menjawab sekarang? Tidak sekarang,
Exi? Baiklah...baiklah..”
Di belakang
tembok, Wisnu mengerutkan keningnya, menindak lagkahnya dan berbalik ke dalam .
Ia tidak jadi bergabung dengan Ivo,
padahal ada hal yang ingin ditanyakannya.
Besok juga
bisa, pikir Wisnu. Besok ia akan langsung membawa Ivo ke rumah mereka yang sedang
dibangun, ia ingin bertanya, tamannya mau didesain seperti apa?
==
Doni menatap layar laptopnya dengan seksama.
Ada perasaan kosong. Hari ini tak ada email
dari Ivo. Dan itu membuatnya merasa sangat kehilangan. Ini gila, pikirnya.
Kenapa? Kenapa ada perasaan kosong di hati? Mungkinkah karena dia sedang
berjauhan dengan Ivo? Atau karena Ivo sudah menikah? Benarkah? Mungkinkah
sebenarnya dia tak siap kehilangan Ivo secepat ini?
Armadoni
tertidur dalam gelisah.
**
September
From : Armadoni
To: Ivo Kamila
Subject :
Pesan buat
Exi
Halo, Exi, bagaimana kabarmu hari ini? Hari ini
sangat melelahkan ya? Apa kau sudah
tidur? Di sini sudah jam dua dini hari, dan di sana meskipun baru jam dua belas
malam, tapi aku yakin kau sudah tidur, di tempat yang hangat bersama keluarga yang menyenangkan.
Pernahkah kau memimpikanku? Atau kau memang tidak
punya mimpi untukku lagi? Aku selalu bermimpi. Sejak kecil aku sudah punya
banyak mimpi . Apa saja dalam keseharianku yang menggugah hati dan menimbulkan
hasrat, biasanya akan muncul dalam mimpiku di malam harinya. Mimpi punya sepeda
balap, mimpi punya sepatu bola . Semua mimpi itu memang terwujud. Dan kini, setelah
dewasa, tidurku diisi oleh mimpi yang lain. Selalu tentang dia, perempuan
pujaanku.
Di Seoul ini, selama hampir dua bulan,
malam-malamku juga diisi oleh mimpi akan dia. Apalagi aku sudah tidak bertemu
dengannya selama dua bulan ini. Aku selalu sulit tidur, tapi harapan akan
bertemu dia dalam mimpi sering kali membuat mataku tiba-tiba mengantuk. Aku
ingin selalu terlelap, karena dengan itulah aku bisa bertemu dengannya.
Berbincang lagi denganya seperti keseharian kami selama ini.
Aku sangat merindukannya,bahkan siang tadi, ketika
aku menghabiskan waktu libur dengan berjalan-jalan mengunjungi tempat wisata,
aku masih memimpikan dia.
Oya, Exi, kau tahu kemana aku pergi siang tadi? Aku
memilih mengujungi Nami Island. Konyol ya? Harusnya Ivo yang ke sini,dia
kan sangat menyukai drama Korea Winter Sonata.Ini tempat lokasi syuting drama itu.
Ya, aku datang ke sini. Pagi-pagi aku sudah ke luar dari penginapan,
mengikuti tur bus dari Insadong, Seoul, sekitar pukul setengah sepuluh pagi waktu
setempat. Pemandangan di sini memang
sangat menakjubkan, apalagi ini kan September, saatnya memasuki musim gugur.
Sungguh fantastik
melihat daun-daun berubah warna menjadi kuning di sepanjang hutan tempat
berjalan-jalan. Barisan pohon yang berjajar rapih, suasana hutan dengan angin
yang sejuk. Begitu memesona, sungguh tempat yang sangat romantis. Aku iri dengan beberapa wisatawan lain yang datang dengan
pasangannya. Andaikan saja dia ada di bersamaku, mungkin aku tidak akan merasa
kosong dan hampa.
Semua di Nami Island
ini mengingatkanku akan dia. Di sini,aku pun masih merindukannya. Waktu yang
sudah lewat tidak bisa diulang lagi ya, Exi. Andaikan saja....
Ah...sudahlah, aku ingin tidur. Ingin menemui dia
dalam mimpiku.
Kau juga, tidur yang nyenyak ya Exi.
Aku merindukanmu.
Armadoni
Ivo
meletakkan ipad –nya sementara
Exi meringkuk manja di pangkuannya.
“Hem, kau
sudah dengar cerita Doni kan, Exi?” Ivo tersenyum, melihat Exi yang nampak
begitu senang berada di pangkuannya. “Doni ke Nami Island?” Ivo menggeleng sendiri. “Sungguh iri aku
mendengarnya. Kau tahu, Exi, aku pernah berencana ke sana, dan aku masih ingat
bagaimana reaksi Doni waktu aku menyampaikan keinginan itu? Dia hanya tertawa
dan berkata, aku sok romantis,” Ivo
tertawa kecil. “Hutan yang diceritakan Doni, pasti itu tempat Choi Ji-woo dan
Bae Yong Joon sering memadu kasih. Eh, Exi, kau tahu, siapa mereka?” Ivo
menundukkan kepalanya, dilihatnya Exi memainkan ekornya, “Mereka itu tokoh
utama dalam Winter Sonata. Pasti
menyenangkan mengunjungi pulau itu ”
Exi
mengeong kecil, seakan mengerti apa yang dikatakan Ivo.
Ivo
termenung sesaat. “Doni menceritakan tentang pujaan hatinya,” ia bergumam
kecil. “Exi, apa kau tahu siapakah dia?”
Exi
menggeliat, mengeong kecil dan kembali meringkuk manja.
“Kurasa kau
tahu siapa dia,” sahut Ivo, “sayangnya aku tidak mengerti apa yang kau katakan.
Ehm, siapa pun dia sungguh beruntung karena Doni begitu merindukannya dan kerap
memimpikannya. Kamu tahu, kadang-kadang aku cemburu dengan banyak perempuan di
luar sana yang menjadi sahabat Doni. Entah siapa mereka, tetapi aku yakin salah
satu dari mereka adalah pujaan hati Doni. “
Exi
menggeliat lagi, mengibaskan ekornya dan mengeong agak keras.
“Haha...kau
pun cemburu juga rupanya,” Ivo tertawa.
“Tapi dia merindukanmu, kau dengar apa yang dikatakannya tadi? Ia merindukanmu.
Beruntungya kau,” mata Ivo mengabut. “Dia tidak menanyakanku, sungguh terlalu!”
Ivo meraih ipad yang diletakkannya di meja kecil
dekat dia dan Exi ‘berbincang’ .
“Aku
ingin membalas email Doni, kau ingin menyampaikan
apa?”
Exi mengibas-ngibaskan ekornya,lalu meringkuk lagi.
“Baiklah,akan kukatakan pada Doni bahwa kau marah, karena ternyata dia merindukan yang
lain juga. Akan kukatakan padanya, ya, kau tenang saja,”
Ivo mulai menulis. Sedang Exi tertidur lelap.
Di belakang tembok yang tidak jauh dari sana,Wisnu
menarik napasnya, seperti membuang beban yang ada di hatinya. Harusnya dari
dulu dia sadar bahwa hubungan Ivo dan Doni bukan hanya sekedar teman biasa atau
sahabat dekat seperti yang sebelumnya diketahuinya. Pasti lebih dari itu.
Ia yakin, Ivo menyukai Doni . Ia nampak begitu terpukul
ketika mengetahui Doni merindukan gadis
lain. Dan Doni, apa-apaan dia menulis email
untuk Exi dan bercerita tentang rasa rindunya pada seseorang?. Benarkah dia
memang ingin menyampaikan cerita itu untuk Exi? Benarkah semua itu hanya rasa
rindu pada seekor kucing betina? Mengada-ngada kesannya.
Dalam keseharian mungkin saja kita memang berbicara
dengan hewan peliharaan kita, tapi
bercerita melalui email kepada kucing kesayangan
kita dan meminta seorang untuk membacakannya, rasanya terlalu berlebihan.
Kecuali...
Wisnu menarik napasnya lagi. Dia merasa beban di hatinya
bukan makin berkurang, tapi makin menghimpit. Toh begitu, dia tidak ingin
mengganggu Ivo yang sedang menulis email balasan untuk Doni.
Dia lebih memilih berbalik.
****
From : Ivo Kmamila
To
:Armadoni
Subject :
Re:Pesan Buat Exi
Hai, Doni, ketika
aku membalas email ini, Exi tengah tidur dalam pangkuanku. Kau boleh percaya,
boleh tidak, tapi kini kurasa aku mulai menyukai kucing, maksudku, Exi. Dia
memang menggemaskan. Kamu tahu, Don, sejak Exi tinggal
bersama kami, dia sukses ‘mengusir’ tikus-tikus di rumah ini. Di balik sifatnya
yang –menurutmu, dan kurasa betul- jutek, dia memang kucing yang manis dan
selalu menggemaskan.
Aku sudah menyampaikan
rasa rindumu padanya, responnya baik. Kurasa ,dia memang merindukanmu juga.
Soal mimpi, aku yakin dia tak pernah memimpikanmu (haha..haha jangan marah ya, karena aku tidak pernah menyelami dunia
mimpi para kucing). Tapi aku
percaya, dia cemburu karena ternyata kau
juga menghayalkan dan merindukan yang lain di sana. Hem...kamu tahu kan , dia
kucing perempuan, tentu sangat tidak menyenangkan mendengar orang
yang dipujanya menceritakan tentang yang lain yang ternyata kau puja setengah mati dan sampai terbawa dalam mimpi. Jadi kali ini aku harus bilang kalau responnya
terhadap cerita itu kurang baik. Untung saja dia tidak marah dan mencakarku
yang membacakan email untuknya.
Doni, kamu ke Nami Island ya? Uh,
akhirnya kamu sampai ke sana juga ya? Aku iri mendengar ceritamu. Aku yakin,
tempat itu pasti romantis ya, mau musim panas, gugur atau pun musim semi pasti
tetap asyik untuk dikunjungi, tapi ya, aku setuju kalau akan lebih menyenangkan kalau kita bisa pergi
ke sana dengan orang yang kita kasihi. Pasti akan sangat menakjubkan ya? Aku
harap Wisnu akan membawaku ke sana suatu hari nanti. Kalau bisa pas winter. Aku pasti sangat senang andai keinginan
itu bisa terwujud. Kamu tahu, aku juga ingin mengunjungi tempat-tempat lain,
seperti Fullhouse tempat serial drama Fullhouse dibuat. Aku ingin merasakan bagaimana denyut kehidupan di
rumah ini, mungkinkah seseru gaya hidup Rain dan Son Hye-kyo yang memerankan pasangan
dalam drama Fullhouse itu? Aku juga ingin ke
N Seoul Tower, yang konon katanya
adalah salah satu landmark kota Seoul yang terletak di puncak gunung
Namsan .
Aku akan rayu Wisnu
untuk ke sana suatu hari nanti.
Sampai sini dulu ya
Doni. Aku ingin istirahat. Akhir-akhir ini
aku merasa terlalu gampang lelah, mungkin karena pekerjaan kantor yang
menumpuk. Selamat istirahat juga
ya, Doni.
Jaga dirimu ya.
Kapan kau kembali ke
tanah air? Kami - aku dan Exi- merindukanmu.
Selalu.
Ivo
Doni mengusap dagunya. Aku juga sangat merindukanmu, Ivo, gumamnya. Tahukah kamu siapa seseorang itu, Ivo? Dia, kamu!
Ya, kamu!
Andai waktu bisa diulang. Andai saja.
***
BAB III
Entah sudah berapa lama dia tidak mampir ke sini. Rumah ini masih
serapih saat terakhir kali Ivo mampir. Halaman dan tamannya juga bersih dan hijau.
Bunga-bunga mulai bermekaran. Sangat indah. Soka, alamanda, bougenvile. Sungguh
menarik hati.
Ivo mengelilingi rumah Doni dan duduk di pinggir kolam
yang berisi beberapa ekor ikan koi.
Pernah beberapa kali dia dan Doni duduk di sini
menikmati teh sambil ngobrol tentang banyak hal. Masa yang indah , yang
mungkin tak akan pernah terulang lagi.
Siapakah yang akan menemani Doni menghabiskan waktu
santai di tepi kolam ini?
Seseorang yang sangat istimewa tentunya. Seseorang yang
mampu membuat Doni ingin tidur dan berjumpa dengannya dalam mimpi. Seseorang
yang bisa membuat Doni merasa hampa dan sepi walau di keramaian. Tentu seseorang itu
sangat dicintainya. Uh....Ivo merasa dadanya sakit. Ia pernah merasa bahwa
dialah satu-satunya perempuan yang dicintai Doni, nyatanya?
Ivo bangkit dan dia memutuskan untuk tidak masuk ke dalam
rumah. Kalau
dia masuk, dia akan semakin merindukan Doni. Lagipula Ivo yakin, semua
baik-baik saja. Dia tidak perlu khawatir soal perawatan rumah ini.
Ya, tapi,dia
rindu! Sangat rindu. Itulah tadi yang membuatnya ingin kesini.
Sampai di
rumah, di luar dugaannya, teryata Wisnu
sudah pulang lebih awal . Ivo mendapati Wisnu sedang ngobrol dengan ibu.
Memang sejak mereka menikah, mereka tinggal dengan ayah dan ibu Ivo. Untuk
sementara saja sebenarnya, karena Wisnu sedang merampungkan pembangunan rumah mereka. Dia memilih
membangun rumah di kawasan teduh, agak jauh dari keramaian kota, sesuai
keinginan dia dan Ivo. Bukan hal yang
sulit. Dia adalah anak tunggal seorang
pengusaha properti. Sebenarnya ayahnya sudah menyiapkan sebuah rumah mewah
untuk Wisnu dan Ivo di kawasan elit, tapi Ivo justru memilih rumah yang tidak
terlalu besar tapi berhalaman luas di daerah pinggiran. Sambil menunggu rumah
tersebut selesai dibangun, keduanya memutuskan tinggal dengan keluarga Ivo.
”
Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?” Wisnu menatap wajah Ivo yang nampak agak
pucat.
”Ya,”
Ivo mengangguk dan duduk di hadapan ibu dan Wisnu . "Aku seharusnya tidak
mengkawatirkan rumah Doni, semuanya baik-baik saja dan ...“
"Ivo...maksud
Wisnu apa kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali,” Ibu memotong ucapan Ivo dan bangkit
mendekatinya, memegang kening Ivo. “Badanmu juga hangat.”
“Aku memang
merasa kurang sehat, Bu,” Ivo melirik Wisnu dan meyakinkah suaminya kalau dia
tidak apa-apa. “ Tapi kurasa cuma kelelahan.”
“Aku antar
kau ke kamar, ”Wisnu bangkit dan menyentuh lembut tangan Ivo. “Kau istirahat
saja dulu.”
Ivo tidak
menolak ajakan Wisnu, dia memang merasa sangat lelah dan kehilangan energi.
“Istirahatlah,”
Wisnu membantu Ivo membuka blazernya. “Aku ambilkan teh hangat buatmu, Sayang. Kau mau teh manis mungkin?”
“Tidak,”
Ivo cepat menjawab. “Aku tidak apa-apa,
ingin tidur saja, Wis.”
“Oke,”
Wisnu mengangguk dan dia nampak merapihkan tempat tidur yang sudah rapih. ”Tidurlah.”
“Wis...”
Ivo menyentuh bahu suaminya yang sedang merunduk. “Terima kasih ya, “ katanya.
“Hei,
kenapa sungkan begini?” Wisnu berdiri tegak dan menyentuh pipi Ivo. “Aku
suamimu, dan menjagamu adalah kewajibanku, Sayang.”
“Ya, kau
memang suami yang hebat,”Ivo mencium pipi Wisnu.
“Istirahatlah,”
Wisnu mengangguk kecil.
****
Entah
berapa lama dia tertidur, ketika terbangun kamar tidurnya gelap. Dia hanya
menangkap cahaya dari luar , lewat lubang ventilasi kamar saja. Ivo bangkit dan menghidupkan lampu, dan baru tahulah
dia bahwa dia sudah tertidur lebih dari tiga jam.
Wisnu entah
di mana, mungkin dia nonton tv atau ngobrol bersama ayah dan ibu. Ivo mandi air
hangat dan ketika selesai mandi dia merasa lebih segar. Sudah lewat jam
sembilan malam, dia lapar tapi entah kenapa enggan untuk makan. Tadi siang dia
juga tak menyentuh makan siangnya.
Ia membuka
tas kejanya yang tadi diletakkannya begitu saja didekat tempat tidur. Dia
meraih ipad dan tersenyum ketika
melihat ada email baru.
Dari Doni!
Seketika
Ivo merasa jauh lebih baik.
From :
Armadoni
To :Ivo Kamila
Subject :
Hai, Ivo
Hai, Ivo, apa kabar?
Senang menyapamu lagi. Aku juga sangat senang membaca email balasanmu dan
merasa cemas akan respon Exi. Tapi, ya, lupakan soal Exi dulu ya, aku justru sangat bahagia mendengar responmu
soal kepergianku ke Nami Island. Kau
suka tempat itu ya dan iri denganku?
Baiklah, aku yakin
Wisnu akan mengajakmu ke sana suatu hari nanti. Andai dia tidak berkenan
membawamu ke sana, aku akan membawamu ke Nami Island, Fullhouse dan ke tempat lain, bahkan ke belahan dunia
mana yang engkau ingin kunjungi, aku akan sangat siap menemanimu ,Ivo. Sunguh.
Jadwal pelatihanku di
Korea akan berakhir sekitar sebulan lagi (semoga tidak ada perpanjangan waktu,
walau cuma sedetik). Aku sudah sangat ingin pulang ke tanah air menemuimu dan
Exi yang merindukanku (hem).
Jaga dirimu baik-baik,
Ivo.Kau pasti kelelahan bekerja itu. Jangan ngoyo. Minta tambah asisten sama
bos kalau memang pekerjaan sudah sangat banyak. Kalau terlalu diporsir, nanti
kamu sakit. Aku tidak rela kamu sakit.
Salam buat Exi ya.
Aku juga merindukan
kalian.
Doni
Ivo tersenyum bahagia membaca email
dari Doni. Malam itu ia tertidur dan mimpi mengunjungi Nami Island.
Bersama Doni!
****
Paginya Ivo nyaris tak bisa bangkit.
Dia merasa pusing. Matanya berkunang-kunang.
“Kamu sakit , Sayang,” Wisnu duduk
di sampingnya dan menatap cemas. Entah sudah berapa lama dia duduk begitu.
“Mataku berkunang-kunang, Wis,” Ivo nyaris menangis. “Aku tidak bisa
bangkit, ya Tuhan, padahal hari ini ada rapat penting di kantor dan...”
“Sayang, lupakan soal kantor dulu,” Wisnu nyaris marah. “Aku akan menelepon
kantormu nanti, sekarang yang penting kita harus ke dokter dulu!”
***
Minggu ke dua tanpa email dari
Ivo. Ini sungguh menyiksa. Apa yang terjadi? Apakah Ivo sudah tidak mau
membalas emailnya lagi, atau terlalu
sibuk dengan tugas –tugas kantor? Ehm, atau justru sangat sibuk mengurus Wisnu?
Doni merasa kosong. Namun dia melanjutkan menulis email.
15 October
From :
Armadoni
To
:Ivo Kamila
Subject :
Pesan Buat Exi (catatan cinta sudah lewat)
Exi, aku tidak lagi
punya kalimat basa-basi kini. Apalagi mengulang pertanyaan yang sama tentang
kabarmu dan kabar Ivo. Ada lima email yang kukirim, tapi tidak
dibalas oleh Ivo. Aku gila memikirkan, apa yang terjadi? Apakah dia sehat,
apakah semuanya baik-baik saja. Oke, aku tahu, semua baik-baik saja. Aku
mengerti, mungkin dia memang tidak punya waktu lagi membaca dan membalas emailku . Dan itu bukan salahnya.
Exi, kini, aku hanya
ingin berbagi cerita yang lain untukmu.
Catatan kecil yang kubuat dari hari ke hari sejak aku tinggal di Korea.
Catatan ini tentang cintaku. Ya, cintaku
yang sudah lewat. Mungkin kau pikir ini
adalah catatan patah hatiku? Boleh jadi, Exi.
Exi,aku kehilangan arah
sejak hari aku sadar Ivo akan menikah. Aku pikir, aku bisa selamanya
bersamanya. Aku benci mengetahui bahwa dia memilih pernikahan sebagai wadah
menyatukan dua manusia. Seharusnya kami masih bisa bersama saat ini. Tapi,
tentu semua salahku.
Kau tahu, Exi, aku
mencintai Ivo dengan sepenuh hatiku. Tapi, aku memang egois. Ivo penah marah
padaku dan berkata sinis, seakan menuduhku hanya menjadikan dia semacam
‘selingan’ saja. Oh, Tidak, Exi. Ivo salah! Aku mungkin memiliki banyak kisah
dengan perempuan –perempuan lain, tapi bagiku hanya Ivo yang paling istimewa.
Kalau tidak, bagaimana mungkin aku mengajaknya memilih kavling rumah,
berdiskusi tentang desain rumah sampai memilih sofa dan perabot rumah lainnya?
Ivo harusnya bisa
melihat semua isyarat itu dan ‘bersabar’ atas proses akhir hubungan kami.
Kenapa perempuan membutuhkan kata-kata
jika sikap saja sudah cukup?
Aku telah mendatangi
semua tempat yang dia ingin kunjungi di Korea ini, sambil menghayalkan, semua
akan berubah. Dan tiba-tiba dia ada di sampngku dan mengatakan bahwa pernikahannya
dengan Wisnu adalah sebuah kesalahan. Sayang, saat itu tidak pernah terjadi dan
tidak akan pernah terjadi. Dia telah memilih Wisnu dan aku adalah masa lalu
yang tak pantas untuk dipikirkan lagi.
Segalanya sudah lewat.
Cinta dan kesempatan bagiku untuk memilikinya sudah berlalu.
Aku menyesali semuanya,
tapi terlambat.
Doni
***
Entah untuk yang keberapa kali dia menghapus email itu tanpa pernah dibaca. Begitu dia melihat nama Armadoni di
kotak inbox, dia langsung menekan
tombol shift delete tanpa pernah
mengetahui apa isi email itu. Tentu
saja dia bisa membaca perihal email
yang dikirim. Kebanyakan hanyalah ’pesan
untuk Exi’, walau pun dia yakin, isinya tidak selalu untuk Exi.
Dia tidak ingin membacanya, meskipun kesempatan untuk itu
ada. Dia tidak ingin mengetahui isinya, karena itu akan membuat sakit hati, membebani
pikiran dan akhirnya dia akan merasa perkawinan adalah sebuah kesalahan.
Tidak!
Dia ingin membina perkawinan ini dengan sebaik-baiknya. Dia telah memulai
akad atas nama Tuhan dan dia ingin menjaganya selamanya. Apalagi saat ini Ivo
sedang mengandung buah cinta mereka. Dia tidak akan merusak suasana bahagia ini
dengan sepenggal catatan yang ditulis oleh Doni lewat email. Itu hanyalah catatan cinta yang sudah lewat!
Tidak, Wisnu menggeleng dan meletakkan ipad
Ivo di tempat semula dan dia tersenyum kecil melihat Ivo yang masih terlelap.
Dia terlelap bersama bayi kami, pikirnya tak bisa menyembunyikan
kebahagian.
***
Penghujung Oktober
Udara November sudah terasa. Angin mulai berhembus lebih kencang. Udara
lebih sejuk dan hujan bulan November akan segera tiba.
Ivo melihat ke luar lewat kaca
jendela kamarnya. Ia melihat Exi melompat-lompat mengikuti gerakan tangan
Wisnu. Ivo tertawa kecil. Ia nyaris tidak bisa menahan diri untuk keluar dan bergabung
dengan Wisnu. Tapi dia segera sadar. Dokter kandungan menyarankannya untuk
tidak dekat-dekat dulu dengan hewan berbulu, termasuk Exi, si Kucing yang
jelita itu.
Lebih dari itu, ia harus bedrest,
karena di usia kehamilannya yang baru memasuki minggu ke-7 ini, mengalami pendarahan.
Ivo membalas lambaian Wisnu yang sekarang sedang
menggendong Exi. Sekarang semua orang telah begitu menyayangi Exi, termasuk
Wisnu.
Tiba-tiba Ivo ingat Doni.
Doni, bagaimana kabarmu? Kenapa tidak pernah mengirim
email lagi dan berbagi cerita padaku dan Exi? Mungkin dia terlalu sibuk, tapi
Ivo yakin tak lama lagi Doni akan
kembali ke tanah air dan tentu saja dia akan mengambil Exi lagi.
Komentar
Posting Komentar