Rumah Cinta

Sinopsis

Sudah lebih dua tahun Mutiara tidak lagi merasa kamar tidurnya sebagai tempat yang menyenangkan. Sejak dia bercerai dengan suaminya, perempuan dokter berusia 35 tahun ini mengidap insomnia.
Dia merasa bayangan suaminya terus ada di rumah mereka. Rumah yang mereka beli dan mereka bangun dengan susah payah dan penuh perjuangan. Rumah itu diserahkan Irawan ketika mereka bercerai. Rumah abadi, rumah seumur hidup, rumah cinta, begitu Irawan menyebut rumah itu. Walau akhirnya laki-laki itu meninggalkannya karena mandul dan lebih memilih perempuan lain.
Sampai akhirnya Mutiara memutuskan untuk menjual rumah itu. Dia ingin kembali  seperti dulu, penuh semangat dan dapat tidur nyenyak. Tapi ketika ada yang ingin membeli, dia tidak rela menjual rumah itu. Dia tidak rela orang lain bahagia di dalam rumah cintanya dengan Irawan. Itu makanya dia selalu menaikkan harga jual rumah itu, sehingga Soni, adiknya dan Bu Martini, mamanya merasa kecewa dengan caranya menjual rumah itu.
Bukan hanya keluarganya sendiri, Mutiara juga telah mengecewakan hati Dicky dan membunuh harapan dan mimpi anak-anak Dicky untuk menempati rumah asri tersebut. Anak-anak yang telah ‘jatuh cinta’ pada rumah itu, sayang ayah mereka – Dicky- tidak mempunyai uang yang cukup.
“Tidak ada harga yang pantas untuk rumah ini. Kenangannya dan perjuangan kita mendapatkannya tidak akan bisa dihargai berapapun juga. ” Begitu Irawan berkata.Mutiara masih berharap Irawan akan kembali ke rumah cinta mereka. Irawan pernah berkata dia akan kembali ke rumah itu. Dan ketika Irawan sendiri yang ingin membelinya, Mutiara merasa dia kembali ke saat-saat indah dulu. Dia berharap akan menemukan kembali kebahagian yang pernah hilang dari hidupnya.
Tapi dia akhirnya tahu, Irawan membeli rumah itu bukan demi cinta dan kenangan manis yang pernah mereka miliki. Dia membeli rumah itu untuk mempersembahkan yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya kini.
Mutiara sedih. Mutiara meradang. Akhirnya dia sadar, bahwa bukan rumah itu yang membuatnya tidak bisa tidur, bukan juga karena kamar tidurnya yang selalu mengingatkannya pada Irawan, tapi karena ‘harapan’ dan ‘mimpi’nya  tentang Irawan. Selama dia masih berharap dan menunggu kepulangan Irawan, selama itu pula dia tidak akan terlelap.

Apakah dia tetap akan menjual rumah itu pada Irawan atau merelakan orang lain menempatinya? Hanya Mutiara yang tahu memutuskan tentang rumah cintanya.
-------------
1.
Untuk yang kesekian kali dia menguap. Wajahnya nampak sangat penat. Matanya merah menahan kantuk. Tapi dia enggan untuk beranjak dari tempat duduknya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit tengah malam. Waktu yang sangat pantas untuk segera menuju ke peraduan. Tapi dia tidak tahan jika berada di kamarnya. Percuma. Dia tidak akan bisa tidur. Gelisah. Bolak-balik di tempat tidur. Badannya ingin istirahat, tapi matanya enggan .
Sudah lebih dua tahun ini dia tidak lagi merasa kamar tidurnya sebagai tempat yang menyenangkan. Dulu, kamar tidur adalah tempat yang paling disukainya. Nuansa biru lembut yang mendominasi kamar tidurnya memberi kesan teduh . Ranjang besar dengan sprei bersih , lukisan di dinding kamar, musik lembut dari stereo , semua membuatnya betah di sana. Belum lagi belaian lembut Irawan, kecupannya, dekapannya, membuat dia nyaman dan aman.
Tapi kini?
Dia menguap lagi. Mengusap matanya dengan punggung tangan. Ada air di sudut mata itu. Separuh timbul karena reaksi kantuk, selebihnya, karena dia memang menangis.
Irawan telah terbang dari sisinya lebih dua tahun yang lalu. Dia menggeleng. Seolah masih tidak percaya Irawan mampu berbuat seperti itu padanya. Mereka telah melewati masa-masa bersama yang tidak sebentar. Enam tahun masa pacaran. Delapan tahun pernikahan dan laki-laki itu hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk meninggalkannya. Melupakan semua kenangan manis mereka. Ya, Tuhan.
Kepalanya pusing.
Siapa yang harus di salahkannya? Penyair dan pujangga yang kerap mengatakan tentang cinta sejati? True love? Astaga. Ya, Tuhan, dia seperti mendengar tawa Diana, teman kuliahnya di Kedokteran dulu. Perempuan itu mengatakan bahwa cinta sejati hanya omong kosong. Cinta sejati sudah berakhir saat Adam dan Hawa meninggalkan taman surga.
True love?” Diana tertawa. “Jangan mimpi itu masih ada di era kita ini, Ara. Aku tidak percaya cinta sejati itu ada. Cinta sejati, cinta tanpa syarat? Omong kosong. Bullshit! Itu cuma ada dalam dongeng seribu satu malam. ”
Dulu dia menggeleng tidak setuju dengan ucapan Diana. Diana tidak pernah berhasil menjalin hubungan dengan pria. Mungkin itu yang membuat Diana tidak percaya bahwa cinta sejati ada.
“Kau harus percaya bahwa cinta sejati itu ada, Diana. Kau jangan putus asa  hanya karena  kau putus terus dengan pacar-pacarmu. Percayalah, suatu hari nanti kau akan menemukan cinta sejatimu. Dimana kau akan rela memberikan seluruh hidupmu padanya. Mengabdikan cintamu hanya padanya dan…”
“Aku tahu, karena kau hanya mengenal Irawan,” Diana cepat memotong. “Aku tidak mengungkapkan pendapat hanya berdasarkan pengalaman cintaku saja, Ara. Tapi karena begitulah kulihat dalam keseharian kita. Tidak ada cinta yang tanpa syarat.”
Mutiara masih menggeleng.
Dia mencintai Irawan. Laki-laki itu juga mencintainya dengan sepenuh hati. Bukan berarti tidak ada riak-riak dalam pelayaran mereka. Badaipun pernah melanda mereka, tapi kekuatan cinta telah membuat mereka menyatu lagi dan mampu mengarungi lautan kehidupan dengan selamat.
Mulanya.
Tahun kelima pernikahan. Saat tangis si kecil tidak terdengar. Irawan tetap tidak peduli. Mutiara menyadari kekurangannya. Mereka sama-sama dokter, dan mereka juga sama menyadari bahwa Mutiara tidak mungkin mengandung.
“Anak bukan segala-galanya, Ara,” Irawan membelainya. “Masih ada yang lebih berharga dari pernikahan kita, penyatuan diri kita. Itu lebih dari segalanya.”
Mutiara kerap melambung ke langit tertinggi bila mendengar ucapan Irawan. Dia selalu bisa membuat siapapun tersanjung. Ucapannya berirama merdu, sanjungannya selalu membuat tersipu, kata-kata hiburannya kerap membangkitkan semangat baru.
“Bisa mengarungi hidup bersamamu sudah membuatku bahagia.” Irawan kembali berkata. “Percayalah, aku tidak akan meninggalkanmu. Kaulah semangat hidupku.”
“Kita bisa mengadopsi anak, Wan,” ucap Mutiara di tahun keenam.”Orangtua kita pasti setuju. Mereka juga ingin rumah kita ramaikan? Lebih-lebih mami dan papi.” Irawan anak tunggal. Mutiara anak kedua dari tiga bersaudara. Mami dan papi adalah sebutan untuk orang tua Irawan.
“Nanti kita pikirkan,” sahut Irawan. “Tapi aku tidak peduli apakah ada atau tidak ada anak di rumah ini, Ara. Cukup kau dan aku. Apakah kau tidak bahagia?”
“Aku sangat bahagia, Wan.”
“Bagus. Lalu apalagi?”
Manis sekali.
Ya, Tuhan.
Di tahun ketujuh. Irawan mulai mengelak makan malam bersamanya. Punya banyak kegiatan di hari libur. Main tenis, main golf, ke kafe dengan teman-temannya. Lalu…
Tahun kedelapan.
“Aku tidak menyangka kau berbuat ini padaku, Wan?” Mutiara menangis sejadinya. “Kau janji tidak akan meninggalkan aku, tapi….”
“Dengar, Ara, aku memang tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap di           sampingmu dan…”
“Tapi perempuan itu? Dia istrimu jugakan? Dan anak itu….” Mutiara menggeleng dengan napas nyaris terhenti.
Siapa yang  menyangka kalau Irawan telah menikah di tahun ke enam pernikahan mereka. Dan saat ini dia tengah menunggu kelahiran anak keduanya.
Brengsek amat. Ya, Tuhan!
“Maafkan aku, Ara. Mami sangat mendambakan cucu dan…”
“Aku sudah bilang, sebaiknya kita mengadopsi anak, tapi…” Mutiara tidak meneruskan ucapannya. Dia bodoh kalau meneruskan kata-katanya. Pasti Irawan akan berkata, ‘ Mami ingin darah dagingku, Mami ingin…
“Percayalah, Ara, kau masih perempuan yang paling kukasihi, tetapi…”
Ya, Tuhan, benar Diana. Tidak ada cinta tanpa kata ‘tetapi’. Cinta tanpa syarat.
“Ceraikan aku, Wan.”
“Jangan berkata begitu, Ara. Aku mencintaimu. Aku tidak mungkin menceraikanmu.”
“ Tetapi kau juga tidak akan menceraikan perempuan itukan?”
“Mengertilah, Ara, aku tidak mungkin menceraikan Frida, kami telah memiliki anak..”
“Kalau begitu ceraikan aku.”
“Ara.”
“Kuberi waktu satu minggu untuk berpikir, Wan. Pilih aku atau perempuan itu.”
“Ara.” Wajah Irawan nampak memohon. Tapi Mutiara tidak tahan untuk tidak mengatakan syarat itu.
Dan ketika Irawan memutuskan bahwa dia memilih Frida, tiba-tiba Mutiara merasa langit runtuh pas di atas kepalanya. Hilang sudah masa-masa bahagia itu. Enam tahun yang menakjubkan di masa pacaran. Tawa yang tidak putus, berdua di bawah pohon akasia di sudut kampus. Nonton di bioskop. Oh…
Lalu  delapan tahun pernikahan. Sekian waktu mereka bisa melewati bersama, tapi dalam waktu sekejap Irawan mencampakkanya.
“Masih ada yang lebih berharga dari pernikahan kita, penyatuan diri kita. Itu lebih dari segalanya.”
“Cukup kau dan aku. Apakah kau tidak bahagia?”
Omong kosong semua itu.
Sejak saat itu Mutiara merasa hidupnya kosong. Kamar yang penuh dengan bayangan Irawan justru membuatnya tidak bisa terlelap dengan enak.
Kamar dan rumah itu berubah jadi rumah hantu yang menakutkan. Benar-benar menakutkan!
===
Mutiara baru sampai di rumah orang tuanya siang itu. Dia mengambil masa istirahat siangnya dari rumah sakit ke rumah orang tuanya. Dia sering melakukan ini, apalagi sejak papanya meninggal setahun yang lalu.
“Kamu nampak sangat lelah, Ara,” Bu Martini, mamanya, menyambutnya dengan tatap cemas. “Kamu kurang istirahat? Badanmu juga kian kurus, Ara.”
“Saya memang capek , Ma,” Mutiara menyahut dengan malas. Bagaimana dia bisa segar seperti dulu. Insomnia.
“Banyak pasien akhir-akhir ini?”
“Ya, Ma.” Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Memejamkan matanya sambil mengingat kembali rencana yang telah disusunnya malam tadi. Dia akan menjual rumah itu. Rumah itu adalah miliknya, bagian dari pembagian harta gono-gini saat dia bercerai dengan Irawan.
Setelah itu dia akan membeli rumah yang lebih kecil. Rumah sekarang terlalu besar. Kasihan Mbok Mia , terlalu terkuras tenaganya untuk mengurus rumah sebesar itu. Dia sendiri tidak punya waktu mengurusnya tiap hari. Pagi dia tugas di rumah sakit, sore dia bekerja di tempat prakteknya. Lagipula, dengan dijualnya rumah itu, dia bisa melupakan semua kenangan manisnya dengan Irawan. Mungkin juga akan membuatnya tenang tidur lagi.
Ya.
“Apa?” Bu Martini seakan tidak percaya mendengar penuturan Mutiara. “Kamu mau menjual rumah itu?”
“Iya, Ma,” Mutiara bangkit. Berjalan menuju kulkas. Membukanya dan mengambil air dingin. “Rumah itu terlalu besar, Ma. Saya kasihan melihat Mbok Mia . Diakan sudah semakin tua. Lagipula …”
“Bagus itu,” Bu Martini menyahut penuh semangat. “Kamu dan Mbok Mia bisa tinggal di rumah ini, Ara. Kamu tahu, mama  kerap kesepian, Ara.”
“Ada Soni bersama  Mama.”
“Aduh…adikmu itu terlalu santai. Merasa terus lajang.”
“Saya bermaksud membeli rumah yang lebih kecil, Ma. Kalau bisa yang tidak terlalu jauh dari rumah kita ini. Biar saya bisa sering mengunjungi mama.” Dia enggan mengatakan bahwa dia tidak ingin dikasihani. Biarlah dia sudah cerai dari Irawan, tapi dia ingin terlihat seperti dulu. Mandiri dan tidak rapuh.
Dia perlu menegaskan kalau dia ingin membeli rumah lagi. Kalau tidak, mama akan memaksanya tinggal di rumah ini.
“Terserahlah,” Bu Martini menyahut pelan. Dia tidak mau memaksa lebih jauh. Mendengar Mutiara akan menjual rumah itu saja membuatnya bahagia. Dia ingin anaknya melupakan semua kepedihannya. Termasuk melupakan Irawan. Mantan menantunya .
“Saya ingin minta bantuan Mas Dodi untuk menjualnya, Ma. Mas Dodi kan punya banyak kenalan dan teman. Mungkin salah satu teman Mas Dodi mau membeli rumah saya.”
“Kamu tidak tahu kalau Dodi harus ikut pendidikan ke Malaysia?” Bu Martini mengingatkan.
“Oh..ya,” Mutiara menggeleng. Dodi adalah abang iparnya. Suami Intan, kakak tertua Mutiara. Mutiara meneguk air, lalu dia teringat dengan adik bungsunya.
“Kalau begitu saya minta tolong Soni saja ya, Ma. Saya hanya ingin Soni mengurus iklannya.”
“Bilang saja pada Soni. Dia pasti suka dapat order ini,” Bu Martini tersenyum.
“Oya, bagaimana Ratna?” Mutiara bangkit, mengambil jeruk sebuah dari meja. “Apa Ratna jadi pindah ke Medan?” Ratna dalah istri Soni. Dia seorang engineer mesin, bekerja di Pekanbaru. Dan Mutiara selalu merasa heran –kagum juga-, mereka tinggal berjauhan tapi tidak pernah punya masalah. Perkawinan mereka sudah memasuki tahun kelima, dan nampaknya bila berjumpa, mereka serasa seperti masih pacaran saja. Tidak ada masalah. Belum saja. Mungkin.
“Kabarnya begitu,” sahut Bu Martini. “Oya, kamu mau mencoba kue buatan mama, Ra?” tiba-tiba Bu Martini bangkit.
“Kue apa, Ma?”      
“Coba dulu, mari! Mama dapat resepnya dari majalah .”
Mutiara mengikuti mamanya dari belakang. Dia jadi ingat masa kanak-kanaknya dulu. Mama selalu punya kejutan dengan kue-kue yang lezat, hasil olahannya sendiri. Ada saja kue terbaru mama yang menyambut mereka bila pulang dari sekolah. Dia dan Intan akan berebut mendapat kue dari Mama. Itu dulu.
Mutiara menarik napasnya.
Bayangan seorang masih melintas di kepalanya.
Persetan!
==
Iklan itu sudah lebih semingu terpasang. Ada beberapa telepon yang masuk, menanyakannya. Tapi baru sebatas itu. Mereka menawar harga dengan tidak pantas, pikir Mutiara. Rumah sebesar itu, sebagus itu, terletak di lokasi yang aman, strategis dan nyaman, ditawar dengan harga yang rendah.
“Berapa? Enam ratus juta?” Mutiara menggeleng.  Tujuh ratus jutapun dia tidak akan menjualnya.
“Tujuh ratus lima puluh juta! ”
Dua minggu, tidak ada yang menelepon lagi.
“Enam ratus juta sebenarnya harga yang pantas juga,” Soni berkata pelan. Dia bicara bukan pada Mutiara, tapi pada Bu Martini, dan Mutiara diam- diam mendengarnya. “Tapi entah kenapa Kak Ara tidak mau melepasnya.”
“Apa itu memang sudah pantas, Son?” tanya Bu Martini.
“Pantas , Ma. Saya sudah survey harganya kok, Ma.”
“Kenapa Ara tidak melepasnya ya?”
“Saya takut Kak Ara memang tidak bermaksud ingin menjualnya.”
“Maksudmu?”
“Itu kenang-kenangan dari Bang Irawankan?”
Ngaco kamu, Son. Sudah dua tahun, kakakmu sudah melupakannya.”
“Siapa bilang, Ma?” Soni tertawa. “Saya tahu kalau Kak Ara masih sayang dengan rumah itu!”
Mutiara tersentak.
Kemarin dia mengelilingi rumah itu. Dan bayangan Irawan terus mengikutinya. Di sudut taman yang penuh dengan soka, dia seperti masih mendengar tawa Irawan. Di taman samping, ada tanaman anggrek yang kerap mengingatkannya pada sosok Irawan.
“Kau cantik seperti anggrek, Ara,” puji Irawan tiap mereka berada di taman.
“Apa iya? Dulu kau bilang aku seperti melati,” ledek Mutiara.
“Ya, kau suci bak melati. Mandiri bagai mawar, abadi bagai bougenville.”
“Kau ….,” sahut Mutiara.”Penjaga tamanku, Penyair Nyasar.”
“Aku akan  terus menjagamu sampai kapanpun.”
Mutiara terhenyak.
Terbayang olehnya tawa ceria Irawan. Wajahnya yang tampan, tatapannya yang lembut . Ya, Tuhan. Beruntung sekali Frida memilikinya kini. Memberikan yang terbaik buat laki-laki itu. Cinta? Oh, dia punya. Tapi anak?
Mutiara menggeleng.
Soni mungkin benar, dia sangat menyayangi rumah ini.
==
Mereka membeli rumah itu dari seorang kenalan. Kebetulan kenalan itu akan pindah ke luar kota. Mutiara dan Irawan mengumpulkan semua uang yang mereka miliki untuk mendapatkannya. Dia ingat, Irawan terpaksa menjual mobilnya hanya agar bisa membeli rumah tersebut. Ketika semua uang yang dikumpulkan belum juga mencukupi, Mutiara mencopot satu per satu perhiasan yang dimilikinya untuk mencukupinya.
Rumah itu akhirnya mereka miliki. Tapi mereka harus merenovasinya.
“Kita akan kumpulkan uang,” kata Irawan. “Kata orang, rejeki orang yang ingin memperbaiki rumahnya selalu mengalir.”
Setahun setelah mereka membeli rumah tersebut, barulah mereka bisa merenovasinya. Sebenarnya tidak tepat dikatakan renovasi, sebab lebih dari tujuh puluh persen dari kondisi lamanya dirubah.
Rumah tersebut berlantai satu dengan halaman yang luas. Terletak di lokasi strategis, nyaman, aman dan bebas banjir.
Pada dasarnya mereka berdua sama-sama menyukai kesederhanaan.  Mereka ingin rumah yang simpel, kompak tapi berkarakter. Donald, seorang arsitek dan teman mereka mengerti betul akan kebutuhan tersebut.
Dialah yang membantu mendesain rumah baru ini. Tampak depan yang sederhana, atap yang terkesan bersih dan simpel. “Berkarakter bukan berarti lantas berbeda dari yang lain secara mencolok,” begitu ujar Donald.
Rumah tersebut terdiri dari empat buah kamar. Terlalu banyak kamar?
“Jumlah yang pantas,” kata Irawan ketika Donald menanyakan untuk apa kamar sebanyak itu. “Kami akan punya sepasang anak nanti. Mereka akan menempati kamar mereka masing-masing. Yang dua lagi? Satu untuk kamarku dan permaisuriku, yang satu lagi, buat untuk tamu atau Mbok Mia.”
Donald tertawa setuju.
“Ini rumah seumur hidup, Donald. Aku tidak akan pindah rumah lagi. Aku akan mati di sini. Ini rumah abadiku, sama seperti Mutiara, sebagai pasangan abadiku.”
“Aku tahu,” Donald tertawa. “Kau dokter yang romantis.”
“Lebih dari itu,” Mutiara menyahut. “Dia adalah suami yang mampu menyembuhkan semua penyakit.”
“Kau dengar, Donald?” Irawan mengangkat kepalanya sedikit. “Carilah wanita yang cocok, Donald. Menikahlah dengannya. Kau akan tahu betapa indahnya kebersamaan.”
Donald menggoyangkan tangannya, seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak bisa digoda. Saat itu dia memang masih bujangan dan sangat menyanjung ‘kesendirian’.    
Rumah tersebut memiliki taman di bagian depan  dan belakang. Ada kolam ikan hias di bagian belakang rumah. Taman belakang terdiri dari pohon soka dan kamboja yang agak tinggi. Kolam ikan hias selalu terawat bersih dan sejuk. Elemen dekoratif mengisi taman-taman tersebut dengan pencahayaan yang  -jika kita duduk berdua di taman itu di malam hari – sangat romantis.
Ruang tamu dan ruang keluarga secara keseluruhan berwarna pastel. Sofa berwarna senada mengisi ruang tamu dengan sebuah lemari antik dan credenza dari kayu razak,  dimana vas bunga mengisi bagian atas credenza tersebut. Bunga dari taman selalu mengisi vas tersebut. Melati yang eksotik, anggrek yang mewah.
 Tiga kamar –selain kamar tidur utama- juga berwarna pastel.
Bagian luar rumah dicat warna putih. Seperti rumah sakit? Mentang-mentang pasangan dokter!  Irawan dan Mutiara tidak peduli. Rumah mereka nampak berkaraker, pagar dari besi dengan cat warna putih pula, jendela  setinggi lebih dari 2 meter tanpa ventilasi dengan material kusen dari aluminium.
Yang istimewa adalah kamar tidur dengan dominasi warna biru muda.  Ranjang besar dengan sprei warna putih biru, gordin berwarna biru juga. Sebuah foto berfigura, foto perkawinan mereka menghiasai dinding pas di kepala ranjang. Kamar mandi mereka juga didekorasi dengan warna biru muda.
Rumah yang sejuk. Rumah seumur hidup. Bah, Irawan hanya pandai bermain kata-kata.
==
“Ya..ya…” Mutiara mengangguk berulang kali sambil memegang ponsel-nya. Di seberang sana suara Soni hilang-hilang timbul. Entah berada di mana dia, sehingga suara ponsel-nya tidak jelas.
“Besok dia mau melihat rumah itu, Kak,” suara Soni mulai terdengar lagi. “Kakak ada di rumahkan?”
“Mungkin, Son. Kalau tidak, Mbok Mia juga bisa menemaninya.”
“Mana bisa begitu, Kak. Kakak harus ada di sana. Kali ini pembelinya serius. Dia baru pindah dari Jakarta. Manajer baru di kantor kami. Dia butuh rumah dan ketika kutawarkan rumah Kakak, sepertinya  dia mau.”
“Ya..ya…Son…”
“Kali ini harus jadi, Kak. Sudah sebulankan?”
“Jual rumah tidak seperti jual kacang goreng,  Son.”
“Benar, Kak. Tapi rumah Kakak itu sebenarnya banyak peminatnyakan?” Soni bersungut-sungut. Di seberang sana Mutiara tersenyum kecil. Bila begitu dia jadi lupa kalau Soni sudah punya dua orang anak. Dia pikir dia masih adik bungsunya yang manja.
“Aku juga sudah mencarikan rumah baru buat Kakak. Rumah itu tidak terlalu jauh dari rumah kita sekarang. Mungil, asri, sejuk. Kakak juga bisa buka praktek di sana nanti. Aku sudah menanyakan harganya. Pokoknya kalau rumah Kakak laku, Kak Ara bisa beli rumah  dan mobil baru yang….”
“Kau memang broker sejati, Son.”
“Nah..kan?”
“Baiklah, kita lihat nanti.”
“Bukan nanti, Kak. Tapi besok jam setengah empat.”
“Iya. Tapi…jangan jam setengah empat. Jam dua bisa?”
“Dia manajerku, Kak, lagipula kita yang mau menjual dan dia yang membeli. Jadi…”
“Baiklah,” Mutiara tersenyum, menyerah.
Dan esoknya, dia menunggu di rumahnya.
Jam setengah empat sudah lewat sepuluh menit ketika mobil itu memasuki halaman rumah. Soni  datang bersama seorang wanita cantik dan  pria berusia awal 40-an.
“Ini rumahnya, Pak,” Soni tersenyum ramah. “Dan ini Kakak saya, si pemilik rumah. “
“Mutiara,” Mutiara menjabat tangan laki-laki itu.
“Saya Dicky.” Laki-laki itu menyahut pelan. Usianya memang baru memasuki angka 40.  Jabatannya mantap, tatapannya biasa saja. Suaranya dalam. Wajahnya tampan dan tinggi badannya nyaris seperti Irawan.
“Saya Melani,” perempuan cantik bertubuh  ala peragawati itu juga menyambut jabatan Mutiara. Usianya mungkin sekitar tiga puluhan awal.
Saya Nyonya Irawan. Uh..dulu dia kerap mengenalkan diri begitu. Tapi perempuan ini lebih senang menyebut namanya sendiri. Bukannya Nyonya Dicky. Bagus juga. Menikah bukan berarti kehilangan nama sendirikan? Sekarang dia hanya Mutiara. Oh..dokter Mutiara.
“Kamarnya berapa, Son?” Dicky melirik pada Soni yang berjalan di depannya.
“Tiga, Pak.”
“Empat!”
Serentak kedua laki-laki itu membalikkan badannya. Mereka  seolah baru sadar bahwa Mutiara ada diantara mereka.
“Oya…mestinya saya bertanya pada Andakan?” Dicky tersenyum.
 Mutiara tidak menanggapinya. “Soni juga bisa ditanya. Cuma Soni lupa kalau ada satu kamar lagi di bagian belakang.”
“Dulu sudah difungsikan sebagai gudangkan?” tanya Soni pula. Seakan membela diri.  Lalu dia mengedikkan bahu. “Aku lupa. Terbalik. Kamar itu dulu gudang, lalu diperbesar menjadi kamar tidur, sedang gudang pindah lebih ke belakang.”
Mereka menambah kamar? Memfungsikan gudang menjadi kamar? Bah…seperti kebanyakan orang saja.
Mereka telah mengelilingi rumah besar itu.
Kamar-kamar telah diperiksa. Melani mencatat beberapa hal. Mutiara tidak mengerti, apa gunanya bagi Melani dengan melakukan itu, tapi Mutiara juga tidak melihat ruginya . Sebagai seorang istri, rasanya dia memang paling berkepentingan terhadap calon rumah mereka. Dia dulu juga begitu, memeriksa semua detailnya sampai Irawan geleng kepala.
“Rumah ini memenuhi syarat. Oya, bisa melihat kamar tidur utamanya?” tanya Dicky.
“Tidak!”
Soni terkejut mendengar sahutan Mutiara yang lebih mirip teriakan . Dicky dan Melani bergantian menatapnya.
“Maksud saya…tidak sekarang,” Mutiara menggigit bibirnya. Kesal. “Saya…ada beberapa hal yang belum saya bereskan. Maaf…”
“Tidak apa,” Dicky maklum. “Kapan saya bisa melihatnya?”
“Akan saya beritahu kemudian.”
Dicky mengerutkan keningnya. Soni akan protes.
“Jangan terlalu lama. Saya ingin segera keluarga saya pindah ke sini. Mumpung tahun  pelajaran baru dimulai. Anak-anak saya harus segera pindah sekolah. Mereka sekarang ada di Jakarta.”
“Lusa . “ Soni yang menyahut. “Tidak terlalu lamakan, Pak?”
“Lusa, boleh juga.” Dia berjalan keluar. “Baiklah, terimakasih. Bu….”
“Mutiara,” Mutiara menyahut cepat dan menyambut jabatan Dicky.
“Ya, Bu Mutiara. Saya ingin semua berjalan dengan cepat tanpa hambatan. Segala sesuatunya bisa kita bicarakan bersama. Oya, untuk selanjutnya dapat menghubungi  sekretaris saya. Melani.” Dia memandang perempuan cantik yang datang bersamanya tadi.
“Oh…ya, baiklah. Terimakasih, Pak.”
“Sama-sama.”
 Oh…dia sekretarisnya. Pantas. Nyonya Irawan…dr. Mutiara…apa bedanya kini?
Mutiara menarik napasnya lega ketika mobil Dicky telah berlalu.
Malamnya, dapat dipastikannya Soni menelepon.
“Kak,  lusa jangan lupa, kamar tidur utamanya akan dilihat.”
“Ya…tapi Son…”
“Apalagi? Harga? Dengan Pak Dicky, jangan takut. Kakak akan mendapat harga yang pantas. Ingat komisi untukku ya.”
Mutiara tidak merasa lucu. Dia hanya ingin mengatakan pada Soni, dia enggan menjual rumah ini. Rumah kenangannya dengan Irawan. Rumah cinta.
 ==
Entah berapa kali dia sudah membaca iklan itu. Dia gunting, difotokopi. Ada yang sakit dirasanya. Dadanya ingin pecah menahan marah dan sedih. Dia seolah tidak percaya bahwa Mutiara sanggup melakukan itu.
Mutiara akan menjual rumah itu. Rumah cinta mereka. Baik, Nyonya. Jangan  kira aku akan mengijinkan orang lain memilikinya? Tidak. Tidak akan!
“Sampai saat ini rumah itu belum laku juga, Wan,” Fikri yang ditugasi oleh Irawan untuk memantau perkembangannya. “Harganya terlalu tinggi, Wan. Entahlah, tapi aku mendapat kesan kalau mantan istrimu itu tidak berniat akan menjualnya.”
 Irawan tersenyum. Dia tidak akan menjualnya. Dia tidak akan melakukan itu. Mutiara  harus menjaga rumah itu. Rumah cinta mereka. Suatu hari nanti, Nyonya, aku akan kembali ke sana. Aku akan menjadi bagian dari rumah itu. Aku akan bersamamu lagi. Tidak ada tawar –menawar.
Tidak akan ada yang mampu menggantikan pesona Mutiara dalam hidupnya. Kelembutan yang bersahaja. Kesederhanaan yang memikat. Tawanya, lesung pipitnya, perhatiannya, matanya yang penuh cinta, belaiannya. Kasihnya yang tidak pernah habis.
Dia tidak pernah ingin berpisah dengan Mutiara. Dia tidak pernah tahan berjauhan dengan Mutiara. Dia berjanji akan terus menjaga Mutiara, bahkan sampai saat ini dia tetap menjalankan janji itu. Meski mereka tidak bersama lagi, meski mereka tidak terikat lagi, tapi Irawan selalu menjaganya. Dia istriku, sampai kapanpun.
Dia tidak ingin menceraikan Mutiara. Mutiaralah yang meminta. Permintaan yang menyakitkan. 
“Pilih aku atau perempuan itu, Wan.”
“Aku tidak akan menceraikanmu, Ara.”
“Tapi kau juga tidak akan menceraikan perempuan itukan?”
“Ara…mengertilah aku…”
“Iwan, mengertilah, kau telah mencampakkanku.”
Tidak! Bagaimana mungkin dia mencampakkan kekasihnya? Semangat hidupnya. Kau tidak akan terganti. Tidak akan!

Dan rumah kita, kau harus tetap menjaganya. Utuh. Aku akan kembali ke sana, aku berjanji. Menyakitkan sekali seandainya kau jadi menjualnya, Ara. Tapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan orang lain yang membelinya.

to be continue......

Komentar